Selasa, 26 November 2013

Utilitarianisme atau CSR : Darya Varia Laboratoria

Utilitarianisme adalah paham dalam filsafat moral yang menekankan manfaat atau kegunaan dalam menilai suatu tindakan sebagai prinsip moral yang paling dasar, untuk menentukan bahwa suatu perilaku baik jika bisa memberikan manfaat kepada sebagian besar konsumen atau masyarakat. dalam konsep ini dikenal juga “Deontologi” yang berasal dari kata Yunani “deon” yang berarti kewajiban. Deontologi adalah teori etika yang menyatakan bahwa yang menjadi dasar baik buruknya suatu perbuatan adalah kewajiban seseorang untuk berbuat baik kepada sesama manusia, sebagaimana keinginan diri sendiri selalu berlaku baik pada diri sendiri.
Menurut paham Utilitarianisme bisnis adalah etis, apabila kegiatan yang dilakukannya dapat memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada konsumen dan masyarakat. jadi kebijaksanaan atau tindakan bisnis yang baik adalah kebijakan yang menghasilkan berbagai hal yang baik, bukan sebaliknya malah memberikan kerugian.
Nilai positif Utilitarianisme terletak pada sisi rasionalnya dan universalnya. Rasionalnya adalah kepentingan orang banyak lebih berharga daripada kepentingan individual. secara universal semua pebisnis dunia saat ini berlomba-lomba mensejahterakan masyarakat dunia, selain membuat diri mereka menjadi sejahtera. berbisnis untuk kepentingan individu dan di saat yang bersamaan mensejahterakan masyarakat luas adalah pekerjaan profesional sangat mulia. dalam teori sumber daya alam dikenal istilah Backwash Effect, yaitu di mana pemanfaatan sumber daya alam yang terus menerus akan semakin merusaka kualitas sumber daya alam itu sendiri, sehingga diperlukan adanya upaya pelastarian alam supaya sumber daya alam yang terkuras tidak habis ditelan jaman.
di dalam analisa pengeluaran dan keuntungan perusahaan memusatkan bisnisnya untuk memperoleh keuntungan daripada kerugian. proses bisnis diupayakan untuk selalu memperoleh profit daripada kerugian. Keuntungan dan kerugian tidak hanya mengenai finansial, tapi juga aspek-aspek moral seperti halnya mempertimbangkan hak dan kepentingan konsumen dalam bisnis. dalam dunia bisnis dikenal corporate social responsibility, atau tanggung jawab sosial perusahaan. suatu pemikiran ini sejalan dengan konsep Utilitarianisme, karena setiap perusahaan mempunyai tanggaung jawab dalam mengembangkan dan menaikan taraf hidup masyarakat secara umum, karena bagaimanapun juga setiap perusahaan yang berjalan pasti menggunakan banyak sumber daya manusia dan alam, dan menghabiskan daya guna sumber daya tersebut.
kesulitan dalam penerapan Utilitarianisme yang mengutamakan kepentingan masyarakat luas merupakan sebuah konsep bernilai tinggi, sehingga dalam praktek bisnis sesungguhnya dapat menimbulkan kesulitan bagi pelaku bisnis. misalnya dalam segi finansial perusahaan dalam menerapkan konsep Utilitarianisme tidak terlalu banyak mendapat segi manfaat dalam segi keuangan, manfaat paling besar adalah di dalam kelancaran menjalankan bisnis, karena sudah mendapat ‘izin’ dari masyrakat sekitar, dan mendapat citra positif di masyarakat umum. namun dari segi finansial, Utilitarianisme membantu (bukan menambah) peningkatan pendapat perusahaan.
Salah satu perusahaan yang telah menerapkan etika ini adalah salah satunya PT. Darya-Varia Labortaoria Tbk. Perusahaan Darya-Varia Laboratoria Tbk sering sekali melakukan kegiatan utilitarianisme atau CSR. Salah satu kegiatan CSR yang mereka lakukan yaitu tes kesehatan gratis, membuat tim jumantik (juru pemantau jentik), dan juga menyumbang kepada Palang Merah Indonesia (PMI) berupa sejumlah obat untuk diare, flu dan vitamin untuk anak-anak dan juga dewasa.

Sumber :

Kejahatan Korporasi Dalam Berbisnis

Seorang pelaku usaha memulai bisnisnya untuk memperoleh keuntungan, mereka melihat adanya suatu peluang usaha yang kemudian mereka jalankan dan menghasilkan keuntungan. Namun akhir-akhir ini fungsi dari sebuah bisnis ternyata tidak hanya digunakan untuk memperoleh keuntungan dari sebuah peluang usaha, namun juga digunakan sebagai sarana untuk melakukan pencucian uang. Akhir-akhir ini, kata-kata pencucian uang atau money laudring sering kali muncul di berbagai berita, dan jika dilihat secara seksama, sebagian besar pencucian uang ini terkait dengan sebuah bisnis yang dibangun oleh pelaku tindak pidana pencucian uang.
Secara umum, pencucian uang dapat diartikan sebagai sebuah proses dimana seseorang berusaha untuk menyembunyikan dan menyamarkan harta kekayaan yang diperoleh dari suatu tindak pidana yang kemudian diolah sedemikian rupa sehingga muncul kembali sebagai harta kekayaan yang sah. Pencucian uang ini juga termasuk sebagai kejahatan kerah putih (white collar crime). Disebut kejahatan kerah putih karena kejahatan ini biasanya dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan dan kekuasaan. Di Indonesia, tindak pidana pencucian ini baru mulai dibicarakan orang pada akhir tahun 2012, meskipun Undang – Undang pencucian uang sudah diterbitkan tahun 2010 (Undang – Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang).
Pencucian uang ini merupakan tindakan pidana yang tidak dapat berdiri sendiri, artinya seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana pencucian uang apabila terdapat uang yang diperoleh dari suatu tindak pidana. Dalam kasus – kasus pencucian uang di Indonesia, sebagian besar tindak pidana awalnya adalah tindak pidana korupsi, meskipun tidak hanya korupsi saja, harta kekayaan hasil dari tindak pidana lainnya seperti narkortika, kejahatan di bidang perbankan, pasar modal, perasuransian, juga termasuk objek dari UU pencucian uang (pasal 2 ayat 1).
Dari berbagai kasus pencucian uang yang terungkap, ternyata terdapat kesamaan dimana pelaku selalu menggunakan bisnisnya untuk mencuci uang mereka. Pelaku mendirikan sebuah korporasi fiktif dimana harta kekayaan yang diperoleh dari sebuah tindak pidana dimasukan sebagai keuntungan korporasi tersebut. Dengan demikian uang yang diterima merupakan keuntungan dari bisnis yang dijalani. Dalam berbagai kasus yang terungkap, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melihat gejala penggunaan korporasi fiktif sebagai tempat pencucian uang. Korporasi tersebut tidak memiliki jenis bisnis yang jelas, namun keuntungannya terus bertambah.
Hal ini perlu diperhatikan oleh pelaku bisnis lainnya, karena terdapat kemungkinan seorang pelaku usaha akan turut terkena dampaknya apabila tidak berhati-hati. Dalam pasal 5 ayat 1 UU Pencucian Uang disebutkan bahwa “ setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 1 milyar Rupiah”.
Kemudian dalam pasal 6 UU Pencucian Uang juga disebutkan bahwa “dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal 3, pasal 4, dan pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap korporasi dan/atau personil pengendali korporasi.
Dengan adanya aturan tersebut, pelaku usaha harus berhati-hati apabila mendapati suatu transaksi keuangan mencurigakan, yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari suatu pihak tertentu. Pelaku usaha jangan hanya melihat keuntungan yang diperoleh, namun juga resiko yang akan dihadapinya.