Seorang pelaku usaha memulai bisnisnya untuk memperoleh
keuntungan, mereka melihat adanya suatu peluang usaha yang kemudian mereka
jalankan dan menghasilkan keuntungan. Namun akhir-akhir ini fungsi dari sebuah
bisnis ternyata tidak hanya digunakan untuk memperoleh keuntungan dari sebuah
peluang usaha, namun juga digunakan sebagai sarana untuk melakukan pencucian
uang. Akhir-akhir ini, kata-kata pencucian uang atau money laudring sering kali muncul di berbagai berita,
dan jika dilihat secara seksama, sebagian besar pencucian uang ini terkait
dengan sebuah bisnis yang dibangun oleh pelaku tindak pidana pencucian uang.
Secara umum, pencucian uang dapat diartikan sebagai sebuah
proses dimana seseorang berusaha untuk menyembunyikan dan menyamarkan harta
kekayaan yang diperoleh dari suatu tindak pidana yang kemudian diolah
sedemikian rupa sehingga muncul kembali sebagai harta kekayaan yang sah.
Pencucian uang ini juga termasuk sebagai kejahatan kerah putih (white collar
crime). Disebut kejahatan kerah putih karena kejahatan ini biasanya
dilakukan oleh mereka yang memiliki kewenangan dan kekuasaan. Di Indonesia,
tindak pidana pencucian ini baru mulai dibicarakan orang pada akhir tahun 2012,
meskipun Undang – Undang pencucian uang sudah diterbitkan tahun 2010 (Undang –
Undang Nomor 8 tahun 2010 tentang pencegahan dan pemberantasan tindak pidana
pencucian uang).
Pencucian uang ini merupakan tindakan pidana yang tidak dapat
berdiri sendiri, artinya seseorang baru dapat dikenakan tindak pidana pencucian
uang apabila terdapat uang yang diperoleh dari suatu tindak pidana. Dalam kasus
– kasus pencucian uang di Indonesia, sebagian besar tindak pidana awalnya
adalah tindak pidana korupsi, meskipun tidak hanya korupsi saja, harta kekayaan
hasil dari tindak pidana lainnya seperti narkortika, kejahatan di bidang
perbankan, pasar modal, perasuransian, juga termasuk objek dari UU pencucian uang
(pasal 2 ayat 1).
Dari berbagai kasus pencucian uang yang terungkap, ternyata
terdapat kesamaan dimana pelaku selalu menggunakan bisnisnya untuk mencuci uang
mereka. Pelaku mendirikan sebuah korporasi fiktif dimana harta kekayaan yang
diperoleh dari sebuah tindak pidana dimasukan sebagai keuntungan korporasi
tersebut. Dengan demikian uang yang diterima merupakan keuntungan dari bisnis
yang dijalani. Dalam berbagai kasus yang terungkap, Pusat Pelaporan dan
Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) melihat gejala penggunaan korporasi fiktif
sebagai tempat pencucian uang. Korporasi tersebut tidak memiliki jenis bisnis
yang jelas, namun keuntungannya terus bertambah.
Hal ini perlu diperhatikan oleh pelaku bisnis lainnya, karena
terdapat kemungkinan seorang pelaku usaha akan turut terkena dampaknya apabila
tidak berhati-hati. Dalam pasal 5 ayat 1 UU Pencucian Uang disebutkan bahwa “
setiap orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan,
pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana,
dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan denda paling banyak 1
milyar Rupiah”.
Kemudian dalam pasal 6 UU Pencucian Uang juga disebutkan
bahwa “dalam hal tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam pasal
3, pasal 4, dan pasal 5 dilakukan oleh korporasi, pidana dijatuhkan terhadap
korporasi dan/atau personil pengendali korporasi.
Dengan adanya aturan tersebut, pelaku usaha harus
berhati-hati apabila mendapati suatu transaksi keuangan mencurigakan, yang
menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari suatu
pihak tertentu. Pelaku usaha jangan hanya melihat keuntungan yang diperoleh,
namun juga resiko yang akan dihadapinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar